Fiksi: Misteri Ruangan Seni




Vika membuka pintu ruang seni dengan terburu-buru. Dia ingin menyelesaikan novelnya siang ini agar besok dapat dikirimkan ke panitia perlombaan. Ruangan itu luas tapi tak banyak perabot di dalamnya. Hanya ada sebuah lemari besar di sudut ruangan untuk menyimpan semua buku dan dua meja besar di tengah ruangan.

Kaki Vika melangkah masuk dan dia  kembali mengunci pintu. Dia tidak ingin diganggu saat menyelesaikan novelnya.

Dengan hati-hati, Vika mengeluarkan laptop dari dalam tas. Membuka dan mencari file novel. Matanya langsung tertuju pada halaman terakhir. Sebenarnya dia sudah menyelesaikan novel itu tapi dia masih ragu dengan endingnya. Seperti ada yang kurang.

Vika menghela nafas dengan berat lalu mulai membaca bab terakhir novelnya. Dia sedang asyik membaca saat mendengar ada suara aneh dari dalam lemari. Awalnya Vika mengabaikan namun suara itu semakin mengganggu konsentrasinya. Dia mulai merasa sebal.

Rasa penasaran menggelitik Vika sehingga dia melangkah perlahan menuju lemari. Tangan kanannya terulur untuk membuka lemari itu.

Seekor binatang melata melingkar di atas tumpukan buku. Binatang itu seolah menatap Vika yang sangat terkejut. Vika mundur pelan-pelan. Keringat dingin mulai membasahi wajah manisnya. Jantungnya berdetak lebih cepat berkali-kali lipat. Tiba-tiba kepalanya terasa berat. Ruangan seni itu seakan berputar dan menjadi gelap. Benar-benar gelap.

“Kamu baik-baik saja?”

Vika mendengar seseorang bertanya. Dia juga bisa mencium bau minyak kayu putih yang sangat kuat. Dia membuka mata perlahan. Detak jantungnya masih belum teratur dan dia masih merasa lemas. Matanya kemudian menangkap sesosok pria yang duduk di sampingnya. Dia mengerjap sebentar lalu duduk.

“Kamu baik-baik saja?” Pria itu bertanya lagi pada Vika. Vika menatapnya dan mengenali siapa pria itu. Bima, sang ketua OSIS.

“Aku baik-baik saja.” ujar Vika.

“Kamu yakin? Kamu tadi pingsan,” Vika langsung menoleh ke arah lemari begitu menyadari apa yang membuatnya pingsan. Anehnya, binatang itu tak ada lagi di sana. Vika berdiri dan berjalan dengan cepat menuju lemari. Dia membuka semua pintunya. Nihil. Tak ada apa-apa.

“Tadi aku melihat...” Vika menghentikan kalimatnya. Untuk apa dia mengatakannya pada Bima?

“Melihat apa?”

“Lupakan saja!” Bima menggumam tak jelas. Vika tiba-tiba teringat sesuatu.

“Bagaimana bisa kamu ada di sini?” Vika mengunci ruangan ini dan hanya dia yang menyimpan kuncinya, jadi bagaimana bisa Bima ada di sini?

“Aku memang sudah ada di sini sejak tadi. Sebelum kamu datang.”

“Tapi hanya aku yang mempunyai kunci ruangan ini.”

“Oya? Aku mempunyai semua kunci ruangan ekstrakurikuler. Aku adalah ketua OSIS, ingat?”

“Tapi,"

“Sudahlah! Sebaiknya kamu ke UKS. Sepertinya kamu butuh obat.” Vika menatap Bima sebal.

Apa tepatnya maksud Bima dia butuh obat? Batin Vika tapi dia sedang malas berdebat. Sepertinya dia memang perlu ke UKS. Setidaknya dia bisa beristirahat sebentar di sana.

“Apa kamu melihat sesuatu tadi?” Vika kembali bertanya sebelum pergi meninggalkan Bima.

“Melihat apa? Binatang yang melingkar di atas buku itu?” Bima menunjuk tumpukan buku di dalam lemari. Mata Vika melebar.

“Kamu juga melihatnya?”

“Tidak. Tapi hanya binatang itu yang bisa membuatmu pingsan, kan?”

Vika menyesal telah bertanya pada Bima. Dia tahu betul jika pria itu senang sekali menggodanya. Bodohnya dia. Dia segera memasukkan laptopnya dan keluar dari ruangan itu secepat yang dia bisa. Dia bahkan tidak mengunci pintu atau pun menyadari kalau ada hal ganjil yang sedang terjadi.

Bima menatap kepergian Vika. Kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman. Senyuman yang penuh misteri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

7 Pelajaran Favorit di Pondok Pesantren

Sosok: Marnan (Berjuang dalam segala kekurangan)